THOHAROH DARI NAJIS, KLASIFIKASI NAJIS, AKIBAT HUKUMNYA, DAN TATA CARA MENSUCIKAN BENDA YANG TERKENA NAJIS, AIR UNTUK BERSUCI
MAKALAH
THOHAROH DARI NAJIS, KLASIFIKASI NAJIS, AKIBAT HUKUMNYA, DAN TATA
CARA MENSUCIKAN BENDA YANG TERKENA NAJIS, AIR
UNTUK BERSUCI
Disusun Untuk Memenuhi
Mata Kuliah Metodelogi Studi Islam
Nur Jannah M.Pd.I
NIDN: 2101118902
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Zainul Arifin
Khoirunnisa
Rika
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL
SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MEMPAWAH
2018
KATA
PENGANTAR
بِسْÙ…ِ اللَÙ‡ِ الرَّ ØْÙ…َÙ†ِ الرَّ ØِÙŠْÙ…ِ
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang maha kuasa karena atas limpahan
rahmat, hidayah dan inayahnya maka kami dapat menyelesaikan makalah “Fiqih
Ibadah”. Dengan judul “Thoharoh Dari Najis, Klasifikasi Najis, Akibat Hukumnya, Dan Tata
Cara Mensucikan Benda Yang Terkena Najis, Air Untuk Bersuci” dapat
terselesaikan dengan baik dan semampu kami.
kami menyadari
bahwa dalam penyusunan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahannya.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sangat kami
harapkan dari berbagai pihak sebagai bahan perbaikan dalam proses penyusunan
materi yang selanjutnya.
Tak lupa ucapan
terima kasih kami haturkan kepada Nurjannah S,PdI, M.PdI selaku dosen
mata kuliah “Fiqih Ibadah” karena atas jasa dan pengaruhnya kami
dapat mengetahui materi tersebut. Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih
kepada Ayah dan bunda tercinta serta kepada rekan-rekan seperjuangan
karena atas dorongan dan semangat kerja samanya yang baik sehinga kami dapat
aktif dalam mengikuti proses belajar pada saat ini.
Akhirnnya kami sampaikan terima kasih.
Mempawah, 16 Januari 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR
ISI........................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................... 1
C.
Tujuan Masalah....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Thaharah dari
najis, klasifikasi najis, akibat hukumnya, dan tata cara mensucikan benda yang
terkena najis................................................................................................................... 2
B.
Air untuk bersuci....................................................................................... 7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................................. 13
B.
Saran........................................................................................................ 13
Daftar Pustaka............................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada ungkapan
bahwa kebersihan itu sebagian dari iman, ungkapan tersebut menganjurkan kita
agar selalu menjaga kebersihan, dengan cara mangatur kebersihan baik dari
kebersihan jasmani maupun rohani. Sebelum beribadah kepada Allah SWT kita
diwajibkan dalam keadaan suci dan bersih, suci baik dalam pakaian, tempat,
bahkan diri kita pun harus dalam keadaan bersih dan suci, maka hal ini yang
dinamakan “Thaharah”
Dalam
makalah ini materi yang kami sajikan adalah diantaranya adalah tentang
pengertian, klasifikasi, tata cara mensucikan thaharah, dan macam-macam air
yang dapat mensucikan dari najis. Dimana Thaharah merupakan ajaran pokok yang
berkisar mengenai bersuci dan tata cara bersuci, bersih atau kebersihan. Untuk
memahami thaharah akan dipaparkan atau dijelaskan pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
yanng dimaksud Thaharoah dari najis, klasifikasi najis, akibat hukumnya, dan
tata cara mensucikan benda yang terkena najis?
2.
Apa yang dimaksud Air untuk bersuci?
C. Tujuan
1.
Ingin mengetahui Thaharoah dari najis, klasifikasi najis, akibat hukumnya, dan tata
cara mensucikan benda yang terkena najis.
2. Ingin mengetahui Air untuk bersuci.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Thaharoah
dari najis, klasifikasi najis, akibat hukumnya, dan tata cara mensucikan benda
yang terkena najis
1.
Pengertian
Thaharah
Menurut Achmad Sunarto
(1991:20-21) kata “thaharah” menurut (tinjauan dari segi) bahasa, artinya sama
dengan kata “Nazharah” (bersih dari kotoran). Adapun menurut (tinjauan
dari) syara’ (pengertian yang sudah lazim berlaku dikalangan para ulam’ ahli
fiqih), maka dalam hal ini terdapat berbagai pengertian (definisi yang
dikemukakan). Diantaranya mereka ada yang berpendapat “suatu perbuatan yang
karenanya seseorang diperbolehkan mengerjakan shalat”. Seperti wudli, mandi,
tayammum dan menghilangkan najis. Adapun kata “thaharah” menunjukkan
arti “air suci, sisa dari air yang telah digunakan bersuci” (seperti air yang ada
di suatu tempat yang telah dipakai mengambil air wudlu).
Menurut Labib (2005:8)
adapun pengertian lain Thaharah menurut lughah (bahasa) adalah suci atau
bersih, dalam istilah syari’at Thaharah artinya suci dari hadats dan najis,
maksudnya keadaan suci setelah berwudhu, tayamum, atau mandi wajib yang
benar-benar telah diniatkan dan suci dari najis setelah terlebih dahulu
dibersihkan dari badan, pakaian, dan tempat.
2. Macam-MacamTaharah
Abatasa (2017) Taharah dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Thaharah dari najis adalah yang berlaku untuk badan, pakaian, dan tempat. Cara menyucikannya dengan air yang suci dan menyucikan, yang biasa disebut air mutlak
b. Thaharah dari hadas, adalah yang berlaku untuk badan, seperti mandi wudlu, dan tayammum.
3. Klasifikasi Najis
a. Najis Mughallazhah (Berat)
Alif Juman (2017) Najis mughallazhah adalah najis berat. Yang masuk pada najis jenis ini adalah anjing, babi dan binatang yang lahir dari keduanya (perkawinan silang antara anjing dan babi), atau keturunan silang dengan hewan lain yang suci. Cara menyucikan najis mughallazhah adalah membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satu basuhannya dicampur dengan debu yang suci. Bisa pula dengan lumpur atau pasir yang mengandung debu.
Benda dan sifat najis harus sudah hilang pada saat basuhan pertama. Jika tidak, maka harus diulang-ulang sampai hilang, baru dilanjutkan dengan basuhan kedua, ketiga dan seterusnya sampai ketujuh. Jadi, yang dianggap sebagai basuhan pertama adalah basuhan yang menghilangkan benda dan sifat dari najis mughallazhah. Jika masih belum hilang, maka belum bisa dianggap satu basuhan. Campuran debu bisa diletakkan dalam basuhan yang mana saja. Tapi yang lebih utama pada saat basuhan pertama. Jika air yang digunakan adalah air keruh dengan debu, semisal air banjir, maka sudah dianggap cukup tanpa harus mencampurnya dengan debu.
b. Najis Mutawassithah (Sedang)
Menurut Labib (2005:10) Najis mutawassithah adalah najis tingkat sedang yang selain dari dua najis tersebut diatas, seperti segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang kecuali air mani, barang cair yang memabukkan, susu hewan yang tidak halal dimakan, bangkai, juga tulang dan bulunya, kecuali bangkai manusia ikan dan belalang.
Sedangkan menurut alif juman (2017) Najis jenis ini ada lima belas macam sebagai berikut:
1) Setiap benda cair yang memabukkan.
2) Air kencing, selain kencing bayi laki-laki di bawah dua tahun yang belum makan apa-apa selain air susu ibu.
3) Madzi, yaitu cairan berwarna putih agak pekat yang keluar dari kemaluan. Cairan madzi biasanya keluar ketika syahwat sebelum memuncak (ejakulasi).
4) Wadi, yaitu cairan putih, keruh dan kental yang keluar dari kemaluan. Wadi biasanya keluar setelah kencing ketika ditahan, atau di saat membawa benda berat.
5) Tinja atau kotoran manusia.
6) Kotoran hewan, baik yang bisa dimakan dagingnya atau tidak.
7) Air luka yang berubah baunya.
8) Nanah, baik kental atau cair.
9) Darah, baik darah manusia atau lainnya, selain hati dan limpa.
10) Air empedu.
11) Muntahan, yakni benda yang keluar dari perut ketika muntah.
12) Kunyahan hewan yang dikeluarkan dari perutnya.
13) Air susu hewan yang tidak bisa dimakan dagingnya. Sedangkan air susu manusia dihukumi suci kecuali jika keluar dari anak perempuan yang belum mencapai umur baligh (9 tahun), maka dihukumi najis.
14) Semua bagian tubuh dari bangkai, kecuali bangkai belalang, ikan dan jenazah manusia. Yang dimaksud bangkai dalam istilah fikih adalah hewan yang mati tanpa melalui sembelihan secara syara’ seperti mati sendiri, terjepit, ditabrak kendaraan atau lainnya.
15) Organ hewan yang dipotong/terpotong ketika masih hidup (kecuali bulu atau rambut hewan yang boleh dimakan dagingnya).
Menurut Muhammad Rifa’i (1976:15) Najis mutawassithah tersebut ada dua macam, yaitu najis hukmiyah dan najis ainiyah.
1) Najis hukmiyah adalah najis yang tidak memiliki warna, aroma, dan rasa (tinggal hukumnya saja), seperti bekas kencing, arak yang sudah kering dan sebagainya. Cara menyucikan najis hukmiyah cukup dengan mengalirkan air pada bagian yang terkena najis.
2)
Sedangkan najis ainiyah adalah najis
yang berwujud (memiliki warna, aroma, dan rasa). Cara menyucikannya adalah
dengan membasuh najis tersebut sampai benda dan sifat-sifatnya hilang.
Jika najis ainiyah berada di tengah-tengah lantai misalnya, maka ada cara
yang lebih praktis untuk menyucikannya, yaitu dengan dijadikan najis hukmiyah
terlebih dahulu (dihilangkan benda, bau, rasa dan warnanya dengan digosok
menggunakan kain basah misalnya, kemudian tempat najisnya dikeringkan). Setelah
itu cukup mengalirkan air ke tempat yang tadinya basah. Cara ini bisa digunakan
agar tidak usah mengepel lantai seluruhnya.
c.
Najis
Mukhaffafah (Ringan)
Alif Juman (2017) Najis mukhaffafah adalah
najis yang ringan. Yang masuk dalam kategori mukhaffafah hanyalah kencing bayi
laki-laki yang belum makan apa-apa selain air susu ibu dan umurnya belum
mencapai dua tahun. Adapun kencing bayi perempuan tidak masuk dalam kategori
mukhaffafah, melainkan mutawassithah.
Cara menyucikan najis mukhaffafah cukup dengan memercikkan air pada tempat
yang terkena najis, setelah menghilangkan benda dan sifat-sifat najisnya
(basahnya air kencing) terlebih dahulu.
4.
Hukum
Thaharah
Mufid (2017) Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW. di antara firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW
tentang Thaharah adalah sebagai berikut :
Artinya: "hai
orang orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuhlah)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki. jika kamu junub mandilah dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau juga
menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih),sapulah tangan dan mukamu dengan tanah itu. Allah SWT
tidak hendak menyulitkanmu, tetapi dia hendak membersihkan dan menyempurnakan
nikmatnya bagimu supaya kamu bersyukur." (Q.S Al-Ma'idah : 6)
Sedangkan
nabi muhammad SAW bersabda:
Artinya: "Shalat
(yang dilakukan) tanpa bersuci tidak diterima." (H.R Muslim)
Thaharah berkaitan dengan sah atau tidaknya pelaksanaan ibadah yang wajib
seperti shalat atau ibadah lainnya. hal itu menunjukkan betapa islam sangat
mementingkan kebersihan pribadi umatnya.
5. Tatacara menyucikan Najis
Abatasa (2016) Ada bebrapa cara yang perlu diperhatikan dalam hal bersuci dari najis, yaitu sebagai berikut:
a. Barang yang terkena najis mughalazhah seperti jilatan anjing atau babi, wajib dibasuh 7 kali dan salah satu diantaranya dengan air yang bercampur dengan tanah.
b. Barang yang terkena najis mukhaffafah, cukup depercikkan air pada tempat najis tersebut.
c. Barang yang terkena najis mutawassithah dapat disucikan dengan cara dibasuh sekali, asal sifat-sifat najisnya (warna, bau, dan rasa) itu hilang. Adapun dengan cara tiga kali cucian atau siraman lebih baik.
Jika najis hukmiah cara menghilangkannya cukup dengan mengalirkan air saja pada najis tadi.
B.
Air
Untuk Bersuci
Menurut Achmad Sunarto
(1991:21-22) Air untuk bersuci ada beberapa macam yang telah dianggap sah untuk
dipakai bersuci itu ada tujuh macam sebagai berikut:
1.
Air
hujan.
2.
Air
laut (air asin).
3.
Air
sungai/begawan (air tawar)
4.
Air
sumur.
5.
Air
sumber.
6.
Air
es.
7.
Air
Embun.
Ketujuh air diatas
telah tercakup pada suatu pengertian yakni pada suatu pengertian yakni semua
air yang datang dari langit dan yang keluar dari tanah dengan segala macam
warna (corak) keadaan ujud air tersebut dari asal kejadiannya.
Tersebut di atas, terbagi menjadi lima
bagian sebagai berikut:
1.
Air
Suci Yang Mensucikan (Air Mutlak).
Menurut Hiyadh Abul
(1993:25) Air mutlak adalah air yang penamaannya tanpa tambahan, walaupun hasil
sulingan dari asap air yang mendidih dan suci dilarutkan suatu campuran di
dalam suatu air ataupun ada tanbahan nama pada air, tapi tambahan tersebut
untuk menerangkan tempatnya, misalnya (air laut).
Menurut Labib (2005:9)
Air mutlak adalah air suci dan menyucikan (air sewajarnya), artinya yang murni,
dapat digunakan untuk bersuci dan tidak makruh, seperti air sungai, air hujan
dan lain-lain.
2.
Air
Suci Tapi Tidak Mensucikan.
Menurut Khamid Qurays
(2017) Air suci yang tidak bisa mensucikan ini terbagi menjadi dua macam,
berikut ini penjelasannya:
a.
Air
Musta'mal Air musta’mal adalah air yang bekas digunakan untuk thaharah yang
wajib seperti mandi dan wudhu’ wajib, akan tetapi air itu tidak dihukumi air
musta’mal kecuali jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1)
Air
itu adalah air yang sedikit, yaitu air yang kurang dari dua qullah (216 liter).
Jika air tersebut dua qullah atau lebih, maka tidak akan menjadi air musta’mal
walaupun digunakan berulang-ulang untuk thaharah.
2)
Air
itu digunakan untuk toharoh yang wajib. Lain halnya jika air tersebut digunakan
untuk taharah yang sunnah, seperti wudhu tajdid (memperbaharui wudhu), mandi
sunnah, dan lain-lain. Maka Jika air bekasnya ditampung lalu digunakan lagi
untuk thaharah tidak apa-apa, karena air itu tidak dihukumi air musta’mal.
3)
Air
tersebut sudah terpisah dari anggota badan. Lain halnya jika air itu masih
mengalir di anggota badan, maka belum dihukumi air musta’mal, hingga air itu
terpisah dari badannya.
4)
Ketika
menggunakan air tersebut tidak berniat ightirof. Lain halnya jika berniat
igthirof, yaitu berniat mengambil air itu dari tempatnya untuk digunakan diluar
tempat tersebut, Maka air yang tersisa ditempat tersebut tidak menjadi
musta’mal. Dan jika tidak berniat ightiraf, begitu kita memasukkan tangan untuk
mengambil air ditempat itu setelah basuhan pertama tentunya langsung menjadi
air musta’mal.
b.
Air
Mutlak Yang Berubah Sifatnya Sedangkan macam kedua dari air yang dihukumi suci
tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci (thaharah) adalah air mutlak yang
berubah salah satu sifatnya atau semuanya (bau, warna dan rasanya). misalnya
air itu berubah dikarenakan bercampur dengan sesuatu yang suci, seperti air
teh, kopi, sirup dan lain-lain. Maka hukumnya suci dapat dikonsumsi, tetapi
tidak dapat digunakan untuk thaharah. Sama hukumnya seperti air musta’mal
asalkan air itu memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1)
Berubahnya
air itu dengan sesuatu yang suci, lain halnya jika berubahnya karena sesuatu
yang najis, maka air itu dihukumi najis.
2)
Berubahnya
dengan perubahan yang banyak sekiranya tidak lagi dinamakan air, seperti air
teh, kopi, dan lain-lain. Lain halnya jika perubahannya sedikit, agak keruh,
dan lain-lain akan tetapi nama air masih melekat pada air itu, maka tidak
berubah hukum asalnya yaitu suci dan dapat digunakan untuk bersuci / thoharoh.
3)
Berubahnya
air itu dengan sesuatu yang mukholit yaitu sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
dari air tersebut atau tidak dapat dibedakan dengan pandangan mata mana yang
air dan mana sesuatu yang merubahnya tersebut seperti air kopi, maka kita tidak
dapat membedakan mana air dan mana kopinya dan tidak dapat dipisahkan antara
air dan kopinya setelah keduanya sudah menyatu.
4)
Menjaga
air itu dari sesuatu yang dapat merubah sifat air tersebut adalah pekerjaan
yang mudah. Lain halnya jika menjaga air tersebut supaya tidak tercampur dengan
sesuatu itu sulit untuk dilaku-kan, maka hukum air tersebut tetap tidak
berubah, yaitu suci dan dapat digunakan untuk bersuci, seperti air yang
bercampur dengan lumut, atau tanah di sungai, dan lain-lain.
3. Air
Suci Tapi Makruh Digunakan
Menurut Khamid Qurays (2017) Air suci
tapi makruh digunakan Ada beberapa macam air yang jika kita gunakan untuk
thaharah makruh hukumnya, akan tetapi sah thaharahnya karena air tersebut
memang suci sebanrnya, macam macam dan jenis airnya seperti dibawah ini :
a. Air
yang sangat panas, karena ditakutkan orang yang menggunakannya tidak akan
menyempurnakan wudhu nya.
b. Air
yang sangat dingin, karena juga ditakutkan orang yang menggunakannya tidak
menyempurnakan wudhu’nya.
c. Air
yang berada ditempat tempat yang pernah diturunkan Adzab oleh Allah di tempat
itu. Karena ditakutkan ada Adzab susulan dan juga karena semua hal yang ada
ditempat tersebut akan membawa keapesan (tidak ada keberkahan).
d. Air
yang panas karena sengatan matahari. Adapun sebab makruhya menggunakan air
tersebut, karena dari bejana yang terkena sengatan matahari itu akan
mengeluarkan dzat yang akan menyebabkan orang yang menggunakannya akan terkena
penyakit lepra. Akan tetapi tidak makruh menggunakan air yang panas karena
sengatan matahari kecuali jika memenuhi syarat-syarat dibawah ini :
1) Air
itu sudah terasa panas dengan sengatan matahari. Lain halnya jika belum panas,
misalnya baru hangat kuku, maka tidak makruh menggunakannya.
2) Air
itu digunakan disaat masih panas. Lain halnya jika air tersebut digunakan
setelah menjadi dingin, maka hukumnya tidak makruh menggunakannya.
3) Air
itu digunakan untuk orang yang hidup. Dan harom jika digunakan untuk orang yang
sudah mati jika hal itu menyakitkan.
4) Air
itu ditampung oleh bejana yang dapat dipatri/ las, seperti besi, tembaga dan
timah. Dikecualikan bejana yang terbuat dari emas dan perak, karena tidak akan
mengeluarkan zat yang membahayakan kulit manusia, akan tetapi hukumnya harom
dari segi menggunakan tempat yang terbuat dari emas dan perak. Lain halnya jika
bejana yang menampung air itu terbuat dari tanah liat, beling, plastik, dan
lain-lain maka tidak makruh hukum menggunakannya.
5) Air
tersebut digunakan pada musim panas. Lain halnya jika digunakan pada musim dingin,
maka tidak makruh menggunakannya walaupun air itu masih panas.
6) Air
itu digunakan untuk badan. Lain halnya jika air tersebut digunakan untuk
mencuci baju, maka tidak makruh.
7) Air
itu terkena panas matahari disuatu kota yang panas. Lain halnya jika berada
dikota yang tidak panas, maka tidak makruh.
8) Orang
yang menggunakannya tidak takut akan terjadi penyakit pada dirinya. Lain halnya
jika dia yakin kalau menggunakan air itu akan terkena penyakit lepra, maka
hukumnya menjadi harom menggunakannya.
9) Air
tersebut bukan satu-satunya yang dia punya. Lain halnya jika tidak ada air lagi
selain air tersebut, maka hukumnya wajib menggunakannya untuk thaharahnya
(bersuci) dan tidak boleh bertayammum karenanya.
4. Air
Najis (Air Mutanajis)
Menurut Khamid Qurays (2016)Air Mutanajis
adalah air yang terkena benda najis dan dinamakan air mutanajis. Sedangkan
hukum dari air tersebut diperinci sebagai berikut: Jika air itu sedikit (kurang
dari dua qullah / 216 liter) lalu kejatuhan benda najis, maka hukum air
tersebut menjadi najis walaupun tidak berubah sifatnya (bau, warna maupun
rasanya). Dan jika air itu banyak (dua qullah atau lebih) lalu kejatuhan najis,
maka air itu tidak dihukumi najis, kecuali jika berubah salah satu sifatnya
(warna, bau ataupun rasanya).
5. Air
suci dan menyucikan, tetapi haram memakainya,
Menurut Labib (2005:9) Air suci tapi haram untuk
memakainya yaitu air yang diperoleh dari ghasab (mencuri/mengambil tanpa ijin).
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Thaharah menunjukkan arti “air suci, sisa dari air yang telah digunakan bersuci” (seperti air yang ada di suatu tempat yang telah dipakai mengambil air wudlu). Thaharah juga dibagi menjadi 2 macam yaitu tharah dari najis dan thaharah dari hadas, dan juga memiliki 3 klasifikasi yaitu najis mughallazhah (berat), najis mutawassithah (sedang), dan najis mukhaffafah (ringan), dengan cara menucikannya tersebuta kalau mughallazah dibasuh 7 kali dengan air yang dicampur denga lumpur, mutawassithah cukup dibasuh sekali saja sedangkan mukhaffafah cukup dipercikkan air pasa tempat najis tersebut.
Dalam thaharah juga dijelaskan macam-macam air yang
dapat digunakan dan yang dapat digunakan itu ada 7 macam air termasuklah air
hujan dan juga dibagi menjadi 5 bagian lagi yaitu air mutlak, air suci tapi
tidak menyucikan, air suci tapi makruh digunakan, air najis (air mutanajis),
dan air suci dan menyucikan tapi haram digunakan (air curian).
B. Saran
Dari
hasil kesimpulan di atas, maka kami mengharapkan agar pembaca dapat memberikan
saran-saran yang tidak menutup kemungkinan dapat mendatangkan manfaat bagi makalah ini, dimana berupa kritikan yang
dapat membangun dan mengembangkan lagi makalah yang akan datang. Demikian
beberapa kesimpulan yang dapat penulis sajikan dalam Makalah ini, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU
Hiyadh, Abul. 1993. Terjemahan Fat-hul Mu’in.
Surabaya. Al-Hidayah.
Labib. 2005. Tuntunan Shalat Lengkap Dzikir-Wirid. Jakarta.
Sandro Jaya.
Rifa’i, Moh. 1976. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang. PT. Karya
Toha Putra.
Sunarto, Achmad. 1991. Terjemahan Fat-hul Qorib. Surabaya.
Al-Hidayah.
SUMBER INTERNET
Abatasa. (29 September 2017). Thahara Bersuci. http://m.aniiqotulmahiroh.abatasa.co.id.
Juman, Alif. (29 September 2017). Tuntunan Sholat Bab I Bersuci. http://www.piss-ktb.com.
Mufid.(04
Oktober 2017). Pengertian dan hukum thaharah.
http://mmn-dot-org.blogspot.co.id.
Qurays, Kkamid. (29 September 2017).
Macam-macam Air Untuk Bersuci. http://www.fiqihmuslim.com.
Comments
Post a Comment