PEMBAGIAN HADITS

                                                             PEMBAGIAN HADITS

 

MAKALAH

 

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester II Syariah Mata Kuliah Pengantar Ulumul Qur’an dan Hadits

Dosen Pembimbing:

Nurul Fathanah S.HI M.HI

NIDN: 2109018501

 

Disusun Oleh: 

DUSSALAM

M. IDRIS AFFANDI

 

 

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AKHWAL AL SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MEMPAWAH

2018

KATA PENGANTAR

بِسْمِ اللَهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalahPengantar Ulumul Qur’an dan Hadits. Dengan judul “PEMBAGIAN HADITS”. Dapat terselesaikan dengan baik dan semampu saya.

kami menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sangat kami harapkan dari berbagai pihak sebagai bahan perbaikan dalam proses penyusunan materi yang selanjutnya.

Tak lupa ucapan terima kasih kami haturkan kepada Ibu Nurul Fathanah S.HI M.HI  selaku dosen mata kuliah “Pengantar Ulumul Qur’an dan Hadits” karena atas jasa dan pengaruhnya kami dapat mengetahui materi tersebut. Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada Ayah dan bunda tercinta serta kepada rekan-rekan seperjuangan karena atas dorongan dan semangat kerja samanya yang baik sehinga kami dapat aktif dalam mengikuti proses belajar pada saat ini. Akhirnnya kami sampaikan terima kasih.

 

 

 

 

 

Mempawah, 29 April 2018

 

Penulis

 

 DAFTAR ISI

 

            KATAPENGANTAR.......................................................................................... i

            DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

 

            BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang........................................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah...................................................................................... 2

C.     Tujuan Masalah.......................................................................................... 2

 

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits...................................................................................... 3

B.     Struktur Hadits.......................................................................................... 4

C.     Klasifikasi Hadits.................................................................................... 11

D.    Kedudukan Matan dan Sanad Hadits..................................................... 14

 

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan.............................................................................................. 16

B.     Saran........................................................................................................ 16

 

Daftar Pustaka............................................................................................. 17

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Al-qur’an yang senantiasa dibaca kaum muslimin tidak sekedar bacaan suci umat islam yang diyakini sebagai ibadah, melainkan juga sebagai hudan(pedoman dan petunjuk hidup) bagi orang-orang yang bertakwa, bahkan segenap umat manusia. Tujuan hidup dengan menjadikan al-Qur’an sebagai hudan adalah tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat dalam naungan ridha dan kasih syang ALLAH SWT.

Namun demikian, karena petunjuk hidup di dalam al-Qur’an hampir sebagian besarnya bersifat mujmal (global) dan masih amm (umum) maka untuk menerapkannya secara praktis sangatlah menghajatkan penjelasan-penjelasan yang lebih operasional, terutama dari Nabi Muhammad selaku pembawa al-Qur’an serta pemilik otoritas utama dalam hal ini. Penjelasan-penjelasan dari Nabi tersebut bisa berupa ucapan, perbuatan, maupun pernyataan atau pengakuan, yang dalam tradisi keilmuan islam disebut hadis. Dengan demikian, hadis nabi merupakan ajaran islam setelah al-Qur’an.

Dari sisi periwayatannya hadis memang berbeda dengan al-Qur’an. Semua periwayatan ayat-ayat al-Qur’an diyakini dan dapat dipastikan berlangsung secara mutawattir, sedang hadis ada yang muttawattir dan ada juga yang ahad. Oleh karena itu, al-Qur’an apabila dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai qathiy al-wurud, sedang hadis Nabi, dalam hal ini yang berkategori ahad, berkedudukan sebagai zhanniy al-wurud. Untuk mengetahui otentisitas dan orisinalitas hadis semacam ini diperlukan penelitian matan maupun sanad. Dari sini, dapat dilihat bahwa selain rawi (orang yang meriwayatkan atau mengeluarkan hadis), matan dan sanad merupakan tiga unsur terpenting dalam hadis Nabi.

Makalah ini bermaksud menjelaskan pokok-pokok dan fungsi ketiga unsur di atas dalam membentuk sebuah hadis.

 

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Yang Dimaksud dengan Pengertian Hadits?

2.      Bagaimana Struktur Hadits?

3.      Bagaimana Klasifikasi Hadits?

4.      Bagaimana Kedudukan Sanad dan Matan Hadits?

C.    Tujuan Masalah

1.      Ingin mengetahui Apa Yang Dimaksud dengan Pengertian Hadits.

2.      Ingin mengetahui Bagaimana Struktur Hadits.

3.      Ingin mengetahui Bagaimana Klasifikasi Hadits.

4.      Ingin mengetahui Bagaimana Kedudukan Sanad dan Matan Hadits.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Hadis

1.    Secara Etimologis

Menurut Ibn Manzhur, kata hadis berasal dari bahasa arab, yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadits, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.[1]

Hadis bentuk jamaknya adalah hadas, hudasa, dan hudus. Dari segi bahasa, kata Hadis mempunyai beberapa arti, yaitu:

a.    Baru (Jadid), lawan dari terdahulu (qadim).

b.    Dekat (qarib), tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh (Ba’id).

c.    Warta berita (Khabar): sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Hadis yang bermakna Khabar dihubungkan dengan kata Tahdis, yang berarti Riwayat, ikbar (mengkabarkan).[2]

2.      Secara Terminologis[3]

Secara terminologis, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadis secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminnya.

a.      Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut:

“ segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW., baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.”

b.      Menurut istilah ahli ushul fiqh, pengertian hadis adalah :

“ hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., selain Al-qur’an Al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara’.”

c.       Adapun istilah menurut para fuqaha, hadis adalah :

“ segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW. Yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”

Hal ini jelas bahwa para ulama beragam dalam mendefinisikan hadis karena mereka berbeda dalam meninjau objek hadis itu sendiri.

B.     Struktur  Hadis[4]

Secara struktur, hadis terdiri ats tiga komponen, yakni sanad atau isnad (rantai penutur), matan ( redaksi hadis ), dan mukharij (rawi). Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh dibawah ini:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ ‏صلى الله عليه وسلم خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصاً (اخرجه احمد فى مسنده)‏

Sanad adalah:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَنْ أَبِيهِ ‏

Matan adalah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّم خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصًا ‏

Mukharrij adalah:

احمد ‏(اخرجه احمد فى مسنده)‏

 

1.    Sanad Hadis

a.    Pengertian Sanad

Sanad dari segi bahasa artiny المعتمد (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Sedangkan menurut istilah ahli hadis, sanad yaitu:

Artinya :“Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis)”.

Contoh :

Artinya:“Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. ” (Al-Hadis).[5]

Sanad juga bisa dikatakan rantai penutur / perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah

Al-Bukhari > Musaddad > Yahyaa > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW

Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah : Keutuhan sanadnya – Jumlahnya – Perawi akhirnya.

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

b.      Isnad, Musnad, Dan Musnid

Selain istilah sanad, terdapat juga istilah lainnya yang mempunyai kaitan erat dengan istilah sanad, seperti : al-isnad, al-musnad, dan al-musnid.

Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikn ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksudkan di sini adalah “menyandarkan hadist kepada orang yang mengatakannya.”

Menurut At-thibi , seperti yang dikutip oleh Al-qosimi, kata isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan. Ibn Jama’ah, dalam hal ini lebih tegas lagi. Menurutnya, ulama muhaditsin memandang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, yang keduanya dapat dipakai secara bergantian.

Kata Al-musnad mempunyai beberapa arti yang berbeda dengan istilah al-isnad, yang pertama berarti hadist yang diriwayatkan dan disandarkan atau di-isnad-kan kepada seseorang yang membawakannya, seperti Ibn Syihab Az-zuhri, Malik bin Anas, dan Amrah binti Abd. Ar-rahman. Kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadist-hadist dengan sistem penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat rawi hadis, seperti kitab Musnad Ahmad. Ketiga, berarti nama bagi hadis yang memenuhi kriteria marfu’, (disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW). Dan Muttashil (sanad-nya bersambung sampai pada akhirnya). Musnid, yang artinya orang yang meriwayatkan hadis dari jalurnya baik ia paham atau tidak.[6]

 

 

c.       Tinggi Rendahnya Rangkaian Sanad (Silsilatu Adz-Dzahab)[7]

Rangkaian sanad itu berdasarkan perbedaan tingkat ke-dhabit-an dan keadilan rawi yang dijadikan sanadnya ada yang berderajat tinggi, sedang, dan lemah. Rangkaian sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu hadis lebih tinggi derajatnya daripada hadis yang rangkaian sanadnya sedang atau lemah. Para muhaditsin membagi tingkatan sanadnya menjadi sebagai berikut :

1)      Ashahhu Al-Asanid (sanad-sanad yang lebih shahih)

Para ulama seperti Imam An-Nawawi dan Ibnu Ash-Shalah tidak membenarkan menilai suatu sanad hadis dengan ashahhual-asanid, atau menilai suatu matan hadis dengan ashahhu al-asanid, secara mutlak yakni tanpa menyandarkan pada hal yang mutlak.

Penilaian yang ashahhu al-asanid ini hendaklah secara muqayyad. Artinya dikhususkan kepada sahabat tertentu, misalnya ashahhu al-asanid dari Abu Hurairah r.a atau dikhususkan kepada penduduk daerah tertentu, misalnya ashahhu al-asanid dari penduduk madinah, atau dikhusukan dalam masalah tertentu, jika hendak menilai matan suatu hadis, misalnya ashahhu al asanid dalam bab wudhu atau masalah mengangkat tangan dalam berdoa. Contoh ashahhu al-asanid yang muqayyad tersebut adalah:

Sahabat tertentu, yaitu :

a)      Umar Ibnu Al- Khaththab r.a, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Salim bin ‘Abdullah bin Umar, dari ayahnya (‘Abdullah bin ‘Umar), dari kakeknya (‘Umar bin Khaththab).

b)      Ibnu Umar r.a adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar r.a.

c)      Abu Hurairah r.a,. yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Ibnu Al-Musayyab dari Abu Hurairah r.a

Penduduk kota tertentu, yaitu :

a)        Kota mekkah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Uyainah dari ‘Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah r.a.

b)        Kota madinah, yaitu yang diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Hakim dari Abidah bin Abi Sufyan dari Abu Hurairah r.a.

Contoh ashahhu al-asanid ysng mutlak seperti :

a)        Jika menurut Imam Bukhari, yaitu Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar r.a

b)        Jika menurut Ahmad bin Hanbal, yaitu Az-Zuhri, Salim bin ‘Abdillah, dan Ayahnya (‘Abdillah bin ‘Umar).

c)        Jika menurut Imam An-Nasa’i, yaitu ‘Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan ‘Umar bin Khaththab r.a.

2)      Ahsanu Al-Asanid

Hadis yang bersanad ashahhu al-asanid lebih rendah derajatnya daripada yang bersanad ashahhu al-asanid itu antara lain bila hadis tersebut bersanad :

a)        Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Mu’awiyah) dari kakeknya (Mu’awiyah bin Haidah).

b)        Amru bin Syu’aib dari ayahnya (Syu’aib bin Muhammad) dari kakeknya (Muhammad bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash)

3)      Adh’afu Al-Asanid

Rangkaian sanad yang paling rendah derajatnya disebut adh’afu al-asanid atau auha al-asanid. Rangkaian sanad yang adh’afu al-asanid, yaitu:

Yang muqayyad kepada sahabat:

a)        Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Shadaqah bin Musa dari Abi Ya’qub Farqad bin Ya’qub dari Murrah Ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a.

b)        Abu Thalib r.a., yaitu hadis yang diriwayatkan oleh ‘Amru bin Syamir Al-ju’fi dari Jabir bin Yazid dari Harits Al-A’war dari Ali bin Abi Thalib r.a.

c)        Abu Hurairah r.a., yaitu hadis yang diriwayatkan oleh As-Sariyyu bin Isma’il dari Dawud bin Yazid dari ayahnya (Yazid) dari Abu Hurairah.

Yang muqayyad kepada penduduk :

a)        Kota yaman, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh hafsh bin ‘Umar dari Al-Hakam bin Aban dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas r.a.

b)        Kota mesir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Muhammad bin Al-hajjaj Ibnu Rusydi dari ayahnya dari kakeknya dari Qurrah bin ‘Abdurrahman dari setiap orang yang memberikan hadis kepadanya.

c)        Kota Syam, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais dari Ubaidillah bin Zahr dari ‘Ali bin Zaid dari Al-Qasim dari Abu Umamah r.a

2.    Matan Hadis

Secara etimologis, matan berarti membela, mengeluarkan, dan mengikat. Sedangan secara istilah ahli hadis, matan adalah:[8]

Artinya : “ perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW. Yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya”

Ada juga yang mengatakan :

الفا ظ الحديث التى تتقوّم بها معا نيه

Artinya :” lafadz-lafadz hadis yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu”

Dengan demikian matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad). Dari semua pengertian di atas, menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan matan ialah materi atau lafadz hadist itu sendiri.

3.    Mukharrij / Rawi Hadis

Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis (Naqil Al-Hadis).

Apabila kita mengutip matan hadits, dari kita tertentu, misalnya kitab shohih al-bukhori, kemudian kita mencari matan hadits yang sama di kitab yang lain (misalnya shohih muslim) dengan sanad yang berbeda, tetapi juga bertemu dengan sanad al-bukhori,maka pekerjaan yang demikian ini disebut istikhraj, atau takhrij. Sedang orang yang melakukan kegiatan tersebut juga dinamakan mukharij tersebut dihimpun dalam satu kitab, maka kitab yang demikian itu dinamakan kitab mustakhraj. Contohnya adalah kitab mustakhraj Abu Nu’aim, yaitu kitab mustakhraj hadits untuk hadits-hadits yang dimuat dalam kitab shahih al-Bukhori.

Sebenarnya sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap thabaqat atau tingkatannya disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadis. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.

Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah di atas, jika dilihat lebih lanjut, adalah dalam dua hal yaitu: pertama,dalam hal pembukuan hadis. Orang yang menerima hadis-hadis, kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut rawi. Dengan demikian rawi dapat disebut mudawwin atau mukharrij (orang yang membukukan dan menghimpun hadis). Adapun orang-orang yang menerima hadis dan hanya menyampaikan kepada orang lain, tanpa pembukuannya disebut sanad hadis. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi pada tiap-tiap thabaqahnya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadis sebab ada rawi yang membukukan hadis. Kedua, dalam penyebutan silsilah hadis untuk sanad, yang disebut sanad pertama adalh orang yang langsung menyampaikan hadis tersebut kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama adalah para sahabat Rasullullah SAW. Dengan demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi pertama adalah sanad terakhir,dan sanad pertama adalah rawi terakhir.[9]

C.    Klasifikasi Hadits[10]

Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).

1.    Berdasarkan Ujung Sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu’ :

Hadits Marfu’ adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)

Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar. Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: “Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti “Kami diperintahkan..”, “Kami dilarang untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama rasulullah” maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.

Hadits Maqtu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi’in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: “Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu”.

Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi’in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).

2.    Berdasarkan Keutuhan Rantai / Lapisan Sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati’, Mu’allaq, Mu’dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.

Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi’in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW.

Hadits Musnad : sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.

Hadits Mursal : Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi’in (penutur2) mengatakan “Rasulullah berkata” tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).

Hadits Munqati’ . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3

Hadits Mu’dal : bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut. Hadits Mu’allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: “Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….” tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).

3.    Berdasarkan Jumlah Penutur

Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.

Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat).

Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain : Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur) Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan) Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.

 

 

D.    Kedudukan Matan Dan Sanad Hadis

Para ahli hadits sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadits kecuali apabila mereka mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak ada persyaratan apapun untuk diterima periwayatanya. Akan tetapi merekapun sangat berhati-hati dalam menrima hadits.

Pada masa khalifah Abu Bakar r.a dan Umar r.a periwayatan hadits diawasi secara ketat dan hati-hati, dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenaranya oleh seorang yang lain. Ali bin Abu Tholib tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkanya disumpah.

Meminta aksi kepada seorang perowi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menerima hati dalam menerima yang isi yang di beritakan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perowi, merekapun menerima periwayatanya.

Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadits. Yang diperlukan dalam menerima hadits adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang periwayatanya, maka perlu didatangkan sakksi/keterangan.

Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits diperoleh/atau di diriwayatkannya. Dengan sanad, suatu periwayataan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima dan di tolak dan mana hadits yang shohih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia  untuk menetapkan hukum-hukum islam.[11]

Abdullah Ibnu Mubarak berkata :“menerangkan sanad hadis termasuk tugas agama. Andai tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka adalah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga”[12]

Asy-Syafi’I berkata :“perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadis tanpa sanad sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari”[13]

 BAB III

PENUTUPAN

 

A.    Kesimpulan

Hadits nabi yang lengkap dan dapat dijamin kebenaranya harus meliputi sanad, matan dan perowi (periwayat).

Sanad adalah rantai penutur atau perowi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga Rosululloh. Sanad menggambarkan keaslian suatu ayat.

Matan merupakan akhir sanad yakni sabda Nabi Muhammad SAW. ada juga redaksi lain yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad ( gayah assanad) jadi bisa dikatakan bahwa matan itu adalah materi atau lafadz hadits itu sendiri.

Rawi (perowi) adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah di dengar dan diterimanya dari seorang gurunya.

Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits diperoleh/atau di diriwayatkannya. Dengan sanad, suatu periwayataan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima dan di tolak dan mana hadits yang shohih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia  untuk menetapkan hukum-hukum islam. Ada beberapa riwayat dan atsar yang menerangkan keutama’an sanad.

B.     Saran

Dari hasil kesimpulan di atas, maka kami mengharapkan agar pembaca dapat memberikan saran-saran yang tidak menutup kemungkinan dapat mendatangkan manfaat bagi makalah ini, dimana berupa kritikan yang dapat membangun dan mengembangkan lagi makalah yang akan datang. Demikian beberapa kesimpulan yang dapat penulis sajikan dalam Makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami pribadi.

 



[1] https://syafimarliah.wordpress.com/2017/04/03/makalah-ulumul-hadist/. 26 Maret 2018. Jam 13.02

[2] Muhammad ahmad, Mudzakir. Ulumul Hadis. (Bandung: CV PUSTAKA SETIA 1998). Halaman 11

[3] https://syafimarliah.wordpress.com/2017/04/03/makalah-ulumul-hadist/. 26 Maret 2018. Jam 13.02

[4] https://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/27/makalah-sanad-matan/. 26 Maret 2018. Jam 13.20

[5] Muhammad ahmad, Mudzakir. Ulumul Hadis. (Bandung: CV PUSTAKA SETIA 1998). Halaman 51-52

[6] https://syafimarliah.wordpress.com/2017/04/03/makalah-ulumul-hadist/. 26 Maret 2018. Jam 13.02

[7] https://syafimarliah.wordpress.com/2017/04/03/makalah-ulumul-hadist/. 26 Maret 2018. Jam 13.02

[8] Muhammad ahmad, Mudzakir. Ulumul Hadis. (Bandung: CV PUSTAKA SETIA 1998). Halaman 52

[9] https://syafimarliah.wordpress.com/2017/04/03/makalah-ulumul-hadist/. 26 Maret 2018. Jam 13.02

[10] https://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/27/makalah-sanad-matan/. 26 Maret 2018. Jam 13.20

[11] Muhammad ahmad, Mudzakir. Ulumul Hadis. (Bandung: CV PUSTAKA SETIA 1998). Halaman 53-54

[12] https://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/27/makalah-sanad-matan/. 26 Maret 2018. Jam 13.20

[13] https://syafimarliah.wordpress.com/2017/04/03/makalah-ulumul-hadist/. 26 Maret 2018. Jam 13.02

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmad, Muhammad. Muhammad Mudzakir. 1998. Ulumul Hadis. Bandung. CV PUSTAKA SETIA.

Irolita. Makalah Sanad Matan. https://ruruls4y.wordpress.com. 26 maret 2018.

Marlina, Syafi’i. Makalah Ulumul Hadits. https://syafimarliah.wordpress.com. 26 maret 2018.

Comments