MUFRODAT, PERBEDAAN QIRAAH, ASBABUN NUZUL KANDUNGAN HUKUM Q.S. ALI IMRAN AYAT 28-29

 MUFRODAT, PERBEDAAN QIRAAH, ASBABUN NUZUL KANDUNGAN HUKUM Q.S. ALI IMRAN AYAT 28-29

 

MAKALAH

 

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester V Ahwal Al-Syakhsiyyah Mata Kuliah Tafsir Ahkam II

 

H. Miskari L.c M.HI

NIDN: 2112028501

 

images (4)

Disusun Oleh:

Haris Rosi

NIM:17.11.34.0203.0129

 

 

 

 

 

 

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH (AS)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MEMPAWAH

TAHUN 2019

KATA PENGANTAR

بِسْمِ اللَهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, Kita panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahnya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalahTafsir Ahkam II. Dengan judul Mufrodat, Perbedaan Qiraah, Asbabun Nuzul Kandungan Hukum Q.S. Ali Imran Ayat 28-29” dapat terselesaikan dengan baik dan semampu saya.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang sangat saya harapkan dari berbagai pihak sebagai bahan perbaikan dalam proses penyusunan materi yang selanjutnya.

Tak lupa ucapan terima kasih saya haturkan kepada Ibu H. Miskari Lc M.HI selaku dosen mata kuliah “Tafsir Ahkam II” karena atas jasa dan pengaruhnya saya dapat mengetahui materi tersebut. Tak lupa pula saya ucapkan terimakasih kepada Ayah dan bunda tercinta serta kepada rekan-rekan seperjuangan karena atas dorongan dan semangat kerja samanya yang baik sehinga saya dapat aktif dalam mengikuti proses belajar pada saat ini. Akhirnnya saya sampaikan terima kasih.

 

 

 

 

 

                            Mempawah, 07 Oktober 2019

 

Penulis

DAFTAR ISI

 

COVER........................................................................................................................ i

KATAPENGANTAR................................................................................................ ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii

 

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang............................................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah........................................................................................... 1

C.     Tujuan Masalah............................................................................................... 1

 

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian ........................................................................................................

B.     Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah SAW.................................................

C.     Peradaban Islam Padaa Masa Khulafaur Rasyidin ..........................................

D.    Peradaban islam pada masa transisi..................................................................

 

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan................................................................................................... 19

B.      

Daftar Pustaka.......................................................................................................... 20

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Dalam surat al-Baqarah ayat 256 kita telah diberikan pegangan, bahwasanya Wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung dan pengurus orang yang beriman hanya Allah.  Dalam ayat tersebut Tuhan memberikan jaminannya sebagai Wali, bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang.  Dan di dalam ayat tersebut juga diterangkan bahwa Wali orang yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut itu akan mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap.  Kemudian di dalam ayat yang lain kita telah bertemu pula keterangan bahwasanya orang beriman sesama beriman yang sebagian menjadi wali dari yang lain, bantu-membantu, sehingga arti wali di sini ialah persahabatan.  Maka di dalam ayat yang tengah kita bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar mereka jangan mengambil orang kafir menjadi wali.  Jangan orang yang tidak percaya kepada Tuhan dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai sahabat. Karena kelak akibatnya akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut. Jika dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya menyembah thaghut. jika mereka kita jadikan sahabat, maka kita akan diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.

Iman kepada Allah telah dipadu dengan ayat yang terlebih dahulu, yaitu bahwasanya seluruh kekuasaan adalah pada Allah.  Kalau ada manusia ber- kuasa, maka itu adalah anugerah belaka dari pada Allah, dan Allah pun bersedia pula mencabut kekuasaan itu kembali.  Orang tidak akan mulia kalau bukan Allah yang memuliakan dan orang tidak akan hina kalau bukan Allah yang menghinakan.

B.     Rumusan Masalah

1.    Apa Pengertian Mufradat?

2.    Apa Jenis-Jenis Kosa Kata?

3.    Bagaimana Urgensi Mempelajari dan Pengaruhnya Dalam Istimbat Hukum?

4.    Bagaimana Kandungan Hukum dan Tafsir Ayat-Ayat QS Ali-Imran 28-29?

C.    Tujuan Masalah

1.    Ingin Mengetahui Apa Pengertian Mufradat.

2.    Ingin Mengetahui Apa Jenis-Jenis Kosa Kata.

3.    Ingin Mengetahui Bagaimana Urgensi Mempelajari dan Pengaruhnya Dalam Istimbat Hukum.

4.    Ingin Mengetahui Bagaimana Kandungan Hukum dan Tafsir Ayat-Ayat QS Ali-Imran 28-29.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Mufradat

Kosakata atau dalam bahasa arab disebut mufradat, dalam bahasa Inggrisnya vocabulary adalah himpunan kata atau khazanah kata yang diketahui oleh seseorang atau entits lain yang merupakan bagian dari suatu bahasa tertentu. Kosakata ada yang mendefinisikan sebagai himpunan semua kata-kata yang dimengerti oleh orang tersebut dan kemungkinan akan digunakannya untuk menyusun kalimat baru.[1]

Menurut Horn, kosakata adalah sekumpulan kata yang membentuk sebuah bahasa. Peran kosakata dalam menguasai empat kemahiran berbahasa sangat diperlukan, sebagaimana yang dinyatakan Vallet bahwa kemampuan seseorang untuk memahami empat kemahiran berbahasa tersebut sangat bergantung pada penguasaan kosakata yang dimiliki.[2]

Kosakata merupakan kumpulan kata-kata tertentu yang akan membentuk bahasa. Kata adalah bagian terkecil dari bahasa yang sifatnya bebas. Pengertian ini membedakan antara kata dengan morfem. Morfem adalah datuan bahasa terkecil yang tidak bisa dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil yangmaknanya relatif stabil. Maka kata terdiri dari morfem-morfem.[3]

Komuniksasi seseorang yang dibangun dengan penggunaan kosakata yang tepat dan memadai menunjukkangambaran kecerdasan dan tingkat pendidikan si pemakai bahasa. Dalam pembelajaran bahasa arab ada beberapa masalah dalam pembelajaran kosakata yang disebut problematika pembentukan kosakata. Hal itu terjadi karena dalam pembelajaran kosakata mencangkup didalamnya tema-tema yang kompleks yaitu perubahan derivasi, perubahan infleksi, kata kerja, mufrad, tatsniyah, jama, ta’nits, tadzkir dan makna leksikal dan fungsional. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kosakata merupakan kumpulan kata-kata yang memebentuk bahasa yang diketahui seseorang, dan kumpulan kata-kata tersebut akan digunakan dalam menyusun kalimat atau berkomunikasi dengan masyarakat.[4]

B.     Jenis-Jenis Kosa Kata

Rusydy Ahmad Tha’imah memberikan klasifikasi kosakata (al-mufradât) menjadi 4 (empat) yang masing-masing terbagi lagi sesuai dengan tugas dan fungsinya, sebagai berikut:

1.    Pembagian kosakata dalam konteks Kemahiran Kebahasaan

2.    Pembagian kosakata menurut maknanya

3.    Pembagian kosakata menurut karakteristik kata (takhassus).[5]

C.    Urgensi Mempelajari dan Pengaruhnya dalam Istinbat Hukum

1.    Urgensi Mempelajari Qiraat

a.       Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama, misalnya berdasarkan surat An-Nsia [4] ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.[6]

Artinya : “jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..” (Q.S. An-Nisa [4] : 12)[7]

Dengan demikian, qiraat Sa’ad bin Waqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.

b.      Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa qirat sumpah adalah berupa memerdekakan abid. Tambahan  kata mukminatin berfungsi menarjih pendapat para ulama antara lain As-Syafi’iy yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu bentuk alternatif kifaratnya.

c.       Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 222[8]. Sementara qiraat yang membacanya dengan  يَطَّهِّرْنَ(sementara dalam mushaf Ustmani tertulis يَطْهُرْنَ), dapat difahami bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.

d.      Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6 ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca أَرْجُلِكُمْ. Perbedaan qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan kesimpulan hukum yang berbeda.

e.       Dapat memberikan penjelasan  terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-Qariah [10] ayat 5, Allah berfirman:

وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ

Dalam sebuah qiraat yang syadz dibaca:

وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالصُّوْفِ  الْمَنْفُوْشِ

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata الْعِهْنِadalah الصُّوفِ .

2.      Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat Hukum

Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang  berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz  tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.[9]

a.      Perbedaan Qira’at Yang Berpengaruh Terhadap Istinbat Hukum

Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at  membantu penafsiran qira’at (لَامَسْتُمْ) dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam  Q.S Al-Nisa’  (4): 43 :[10]

وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

"….. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya  Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".

Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (َامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.[11]

Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َامَسْتُمْ). Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.[12]

Ada  sebuah  pendapat  yang  menyatakan,  bahwa  yang  dimaksud  dengan  (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) adalah sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan  maksud  dari (امَسْتُمْ) adalah berjima’ dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum berangkat  sholat  tanpa  berwudhu  lagi. Jadi  yang  dimaksud dengan   kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.[13]

Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qira’at  (لمَسْتُمْ), makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.  

b.      Perbedaan  Qiraat  Yang  Tidak  Berpengaruh  Terhadap  Istinbat Hukum

Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap  istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.[14]

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."

Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.[15]

Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (مِنْقَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ), sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.[16]

3.      Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum

Tidak hanya qira’at mutawatir dan  masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.[17]

Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat  Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.[18]

Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :

Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..

Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal  yang sangat baik.[19]

D.    Kandungan Hukum dan Tafsir Ayat-Ayat QS. Ali Imran 28-29[20]

http://kongaji.tripod.com/myfile/Dataayat/3_28.png

Artinya: Janganlah mengambil orang-orang yang mukminin orang­orang yang kafir jadi pemimpin lebih daripada orang-orang yang beriman. Dan barang siapa, yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Allah sesuatu juapun. Kecuali bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas. Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya. Dan kepada Allahlah tujuan kamu. (QS. Ali Imran Ayat 28).[21]

http://kongaji.tripod.com/myfile/Dataayat/3_29.png

 

 

 

Artinya: Katakanlah: Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam dada kamu, ataupun kamu nampakkannya, namun Allah mengetahui­nya juga, dan Diapun mengetahui apa yang ada disemua langit dan apa yang di bumi. Dan Allah atas tiap­tiap sesuatu Maha Kuasa.(QS. Ali Imran Ayat 29).[22]

Iman kepada Allah telah dipadu dengan ayat yang terlebih dahulu, yaitu bahwasanya seluruh kekuasaan adalah pada Allah. Kalau ada manusia berkuasa, maka itu adalah anugerah belaka dari Allah, dan Allah pun bersedia pula mencabut kekuasaan itu kembali. Orang tidak akan mulia kalau bukan Allah yang memuliakan dan orang tidak hina kalau bukan Allah yang menghinakan. Sehingga walaupun seluruh isi dunia untuk menghinakan engkau, kalau tidak hina kata Tuhan, tidaklah engkau akan hina. Walaupun sepakat isi dunia hendak memuliakan engkau, kalau Tuhan akan menetapkan hina, dunia tidaklah dapat menolong. Kecil kita dan kecil dunia, di hadapan Tuhan.

Sekarang setelah mendapat pendirian yang demikian, datanglah tuntunan yang maha penting:

لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنينَ

Artinya: "Janganlah mengambil orang-orang yang mu'iminin akan orang-orang kafir jadi pemimpin , lebih daripada orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 28).

Di sini terdapat perkataan aulia'. Dahulupun pernah kita uraikan arti kata wali, yang berarti pemimpin atau pengurus atau teman karib, ataupun sahabat ataupun pelindung.

Di surat al-Baqarah ayat 256 kita telah diberikan pegangan, bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung dan pengurus orang yang beriman hanya Allah. Di ayat itu Tuhan memberikan jaminannya sebagai wali, bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan di dalam ayat itu juga diterangkan bahwa wali orang yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut itu akan mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap.

Kemudian di dalam ayat yang lain kita telah bertemu pula keterangan bahwasanya orang beriman sesama beriman yang sebahagian menjadi wali dari yang lain, sokong-menyokong, bantu­ membantu, sehingga arti wali di sini ialah persahabatan. Maka di dalam ayat yang tengah kita bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar mereka jangan mengambil or­ang kafir menjadi wali.

Jangan orang yang tidak percaya kepada Tuhan dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai sahabat. Karena akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya menyembah thaghut. Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.

Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abbas berkata: "Al-Hajjaj bin 'Amr mengikat janji setia kawan dengan Ka'ab bin al-Asyraf (pemuka Yahudi yang terkenal sebagai penafsir) dan Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid. Ketiga orang ini telah bermaksud jahat hendak mengganggu kaum Anshar itu lalu ditegur oleh Rifa'ah bin al-Mundzir dan Abdullah bin Jubair dan Sa'ad bin Khatamah, supaya mereka menjauhi orang-orang Yahudi yang tersebut itu. Hendaklah mereka berawas diri dalam perhubungan dengan mereka, supaya agama mereka jangan difitnah oleh orang-­orang Yahudi itu.

Tetapi orang-orang yang diberi peringatan itu tidak memperdulikannya." Inilah kata Ibnu Abbas yang menjadi sebab turunnya ayat ini.Ada lagi suatu riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa jalan riwayat, bahwasanya tafsir ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-or­ang yang beriman bersikap lemah-lembut terhadap orang kafir dan mengambil mereka jadi teman akrab melebihi sesama beriman, kecuali kalau orang-orang kafir itu lebih kuat daripada mereka. Kalau demikian tidaklah mengapa memperlihatkan sikap lunak, tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama orang yang beriman dengan agama mereka.

Untuk mendekatkan kepada faham kita, bacalah pula tafsir surat al-Mumtahanah (Surat 60 ayat 1). Seorang sahabat Nabi yang terkemuka, pernah turut dalam peperangan Badar, bernama Hathib bin Abi Balta'ah, seketika Rasulullah saw menyusun kekuatan buat menaklukkan Makkah, dengan secara diam-diam dan rahasia telah mengutus seorang perempuan ke Makkah, membawa suratnya kepada beberapa orang musyrikin di Makkah, menyuruh mereka bersiap-siap, sebab Makkah akan diserang.

Maksudnya ialah untuk menjaga dirinya sendiri. Sebab kalau serangan itu gagal, dia sendiri tidak akan ada yang memperlindunginya di Makkah. Dia tidak mempunyai keluarga besar di Makkah, seperti sahabat­sahabat rasulullah s.a.w, yang lain. Dengan mengirim surat itu dia hendak mencari perlindungan. Syukurlah Tuhan memberi isyarat kepada Rasulullah tentang kesalahan Hathib itu, sehingga beliau suruh kejar perempuan itu, sampai digeledah surat itu di dalam sanggulnya. 'Umar bin Khattab telah meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh Hathib karena perbuatannya yang dipandang berkhianat itu. Untuk kepentingan diri sendiri dia telah membuat hubungan dengan orang kafir. Perbuatannya itu salah. Sebab dia telah membocorkan rahasia peperangan, syukurlah suratnya itu dapat ditangkap. Kalau bukanlah karena jasanya selama ini, terutama karena dia telah turut dalam peperangan Badar, niscaya akan berlakulah atas dirinya hukuman berat.

Hathib bin Abi Balta'ah termasuk sahabat besar, namun demikian sekali-sekali orang besarpun bisa terperosok kepada satu langkah yang merugikan negara dengan tidak disadari, karena lebih mengutamakan memandang kepentingan diri sendiri. Maka dalam surat al-Mumtahanah ayat 1 diperingatkan supaya orang-orang beriman jangan mengambil orang kafir menjadi wali, karena menumpahkan kasih-sayang.

Padahal kalau telah terjadi pertentangan (konfrontasi) dengan musuh, dalam hal ini di antara kaum Muslimin di Madinah dan kaum Musyrikin di Makkah, hubungan pribadi tidak boleh dikemukakan lagi. Mungkin pribadi­-pribadi orang di Madinah dengan dengan pribadi orang di Makkah tidak ada selisih, tidak bermusuh, malah berkawan, bersahabat karib, tetapi dalam saat yang demikian hubungan pribadi tidak boleh ditonjolkan, sebab akan mengganggu jalannya penentuan kalah - menang diantara golongan yang berhadapan.

وَ مَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ في‏ شَيْ‏ءٍ

"Dan barangsiapa yang berbuat demikian itu , maka tidaklah ada dari Allah sesuatu juapun."

Tegasnya, dengan sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan atau persahabatan, niscaya lepaslah dari perwalian Allah, putus dari pimpinan Tuhan, maka celakalah yang akan mengancam.

إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقاةً

"Kecuali bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas."

Beratus-ratus tahun lamanya negeri-negeri Islam banyak yang dijajah oleh pemerintahan yang bukan Islam, karena terpaksa. Karena tergagah, karena senjata untuk melawan dan kekuatan untuk bertahan tidak ada lagi. Maka tetaplah larangan pertama, yaitu tidak menukar wali dari Allah kepada mereka. Kalau ini tidak dapat dinyatakan keluar, hendaklah disimpan terus di dalam hati dan hendaklah selalu awas sebenar-benar awas, supaya dengan segala daya-upaya bahaya mereka itu untuk membelokkan dari Allah kepada Thaghut dapat ditangkis. Pendeknya , sampai kepada saat yang terakhir wajib melawan , walaupun dalam hati.

Bersikap lunak-lembut kepada musuh, yang merupakan satu ketundukan dan menyerah, karena musuh itu lebih kuat, itulah yang dinamai sikap taqiyah. Kepala selalu terangguk-angguk merupakan setuju, padahal hati bukan setuju. Mulut senantiasa tersenyum, musuh yang kafir itu menyangka bahwa si Mu'min telah tunduk, padahal bukan tunduk.

Orang yang tidak memahami ajaran Islam menyamakan saja sikap begini dengan munafik. Padahal munafik ialah bermulut manis, bersikap lembut dan tersenyum-senyuin di dalam menyembunyikan pendirian yang salah, yang kufur. Seperti orang munafik mengakui di hadapan Rasulullah s.a.w. bahwa mereka telah percaya bahwa beliau memang utusan Allah, padahal hati mereka tidak mengaku. Walaupun yang mereka katakan benar, kalau kata yang benar itu tidak dari hati, mereka tetap berdusta. Itulah orang yang munafik.

Tetapi kalau kita yakin bahwa kita di pihak yang benar, dalam lindungan hukum-hukum Allah dan Rasul, sedang musuh kuat, sehingga kita tidak kuat bertindak menentang musuh Tuhan itu, kalau kita menunjukkan muka manis dan mengangguk-angguk, bukanlah munafik namanya, melainkan taqiyah. Dalam satu seminar di Jakarta dalam bulan September 1966 seorang sahabat menyatakan pendapat bahwa sikap taqiyah yang menjadi pegangan sangat teguh dari kaum Syi'ah adalah menunjukkan sikap yang lemah.

Lalu penafsir ini membantah: "Memang kaum Syi'ah mempunyai ajaran taqiyah, tetapi ini bukanlah alamat kelemahan!" Terlepas dari pendirian penafsir sendiri yang bukan Syi'ah, tetapi penganut Mazhab Sunni, penafsir kagum akan ajaran taqiyah kaum Syi'ah itu. Sebab bagi mereka taqiyah bukan kelemahan, melainkan satu siasat yang berencana. Oleh sebab itu maka Mazhab Syi'ahlah satu mazhab politik yang banyak sekali mempunyai rencana-rencana rahasia, yang baru diketahui oleh musuh-musuhnya setelah musuh itu menghadapi kenyataan.

Kerajaan-kerajaan Syi'ah yang berdiri di mana-mana, baik di Asia atau Afrika di zaman-zaman Khalifah-khalifah Baghdad, kebanyakan pada mulanya adalah gerakan yang dirahasiakan. Berdirinya gerakan Bani Abbas menentang Bani Umayyah, mulanya ialah gerakan rahasia yang timbul di Khurasan. Kerajaan Bani Idris di Afrika, Kerajaan Fathimiyah di Mesir yang dahulu bernama Ubaidiyah di Qairouan mulanya adalah gerakan rahasia. Gerakan Hasan Shabah yang terkenal dengan nama "Hasysyasyin (Assasin) adalah mulanya gerakan sangat rahasia. Oleh sebab itu kalau kaum Syi'ah memakai pendirian taqiyah, bukanlah kelemahan, melainkan siasat yang berencana. Oleh sebab itu kalau ada orang Islam yang menyerah kepada kekuasaan kafir, sampai kerja sama atau membantu kafir, padahal tidak ada rencana hendak terus menumbangkan kerajaan kafir itu, bukanlah itu taqiyah, tetapi menggadaikan diri sendiri kepada musuh.

وَ يُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ

"Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya."

Di sambungan ayat ini Allah Ta'ala memberi peringatan dengan keras, bahwa di dalam urusan ini, khusus dalam taqiyah, janganlah dipandang enteng. Jangan sampai sikap taqiyah itu dijadikan tempat lari untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab menghadapi lawan. Hendaklah awas dan jangan sekali-kali lupa bahwa diri Allah Ta'ala senantiasa ada, senantiasa mengawasi, dan menilik sepak terjang yang kamu lakukan. Karena kalau taqiyah itu akan membawa agama Allah jadi lemah, bukanlah dia taqiyah lagi tetapi beralih menjadi sikap pengecut. Itu sebabnya maka ujung ayat lebih menjelaskan pula, bahwa baik di waktu kamu sedang kuat, lalu menolak kerjasama dengan musuh yang akan melemahkan agamamu, atau sedang lemah sehingga terpaksa kamu mengambil sikap taqiyah, namun ingatlah:

وَ إِلَى اللهِ الْمَصيرُ

"Dan kepada Allahlah tujuan kamu." (ujung ayat 28).

Akhir ayat ini mengingatkan kita akan perumpamaan hidup kita yang tengah berlayar di tengah lautan besar, menaiki sebuah bahtera. Sejak dari permulaan berlayar kita telah menentukan tujuan dan arah di mana bahtera itu akan berlabuh. Lalu pelayaran kita teruskan. Tetapi oleh karena laut itu tidak senantiasa tenang, bahkan ada gelombang, ada taufan, ada badai dahsyat, sudahlah dalam perhitungan bahwa kadang-kadang bahtera itu akan dihalau oleh angin entah ke mana. Tetapi betapa pun hebatnya pukulan gelombang, namun nakhoda kapal wajib tetap menjaga pedoman, tidak boleh berkisar dari tujuan semula. Tujuan bahtera hidup beragama ialah Allah.

Untuk kelengkapan penafsiran ini hendaklah kita tilik lagi ayat 8 dan ayat 9 dari surat 60 (al-Mumtahanah). Surat ini pun diturunkan di Madinah. Di ayat 8 ditegaskan bahwa terhadap kafir yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusirmu dari kampung halaman kamu, tidaklah mengapajika hidup berdampingan dengan damai ( an-tabarru-hum ) dan berhubungan secara adil watuq-sithu ilaihim ) ; memberi dan menerima, duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Lalu di ayat 9 ditegaskan lagi, bahwa jika musuh itu memerangi kamu dalam hal agama dan mengusir kamu dari kampung halaman kamu dan dengan terang-terang pula pengusiran itu, tidaklah kamu boleh bersahabat atau berhubungan dengan mereka.

Niscaya kita dapat berpikir lebih lanjut tentang isi sekalian ayat ini. Baik ayat-ayat yang tegas melarang dan memerintahkan supaya selalu awas, atau ayat yang membolehkan berhubungan dengan mereka, karena taqiyah atau karena kuat. Kalau kita kuat tentu tidak berhalangan kalau kita berhubungan dan berdamai dengan kafir, membuat perjanjian-perjanjian dagang, utang piutang dan lain-lain sebagainya, terutama hidup bernegara di zaman modern, tidaklah ada satu negeri yang dapat memencilkan diri dari negeri lain. Sudahlah selayaknya jika wakil-wakil dari negeri dan negara Islam duduk bersama bermusyawarat memperkatakan soal­-soal internasional dengan wakil-wakil negara-negara lain.

Adapaun sikap awas dan waspada, sikap tidak lupa kepada diri Allah, niscaya tidak boleh dilepaskan, baik di waktu lemah, atau pun di waktu kuat.

قُلْ إِنْ تُخْفُوا ما في‏ صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللهُ وَ يَعْلَمُ ما فِي السَّماواتِ وَ ما فِي الْأَرْضِ

"Katakanlah: Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam dada kamu, atau pun kamu nampakkannya, namun Allah mengetahuinya juga, dan Diapun mengetahui apa yang ada di semua langit dan apa yang di bumi.” (Pangkal Ayat 29).

Ayat ini adalah pengikat jiwa yang halus sekali bagi orang-­orang yang beriman. Dia adalah sebagai sambungan dari Allah memperingatkan tentang diriNya tadi. Mereka pada pokoknya dilarang keras lebih mementingkan pimpinan orang kafir dan mengangkat mereka jadi wali, sehingga melebihkan pandangan kepada mereka daripada memandang sesama mu'min. Cuma di saat yang terpaksa dan menilai keadaan, baru boleh melakukan taqiyah. Di ayat ini diperingatkan bahwa Tuhan mengetahui apa yang kamu sembunyikan dalam dada dan mana yang kamu nampakkan dan nyatakan.

Orang banyak dapat kamu kicuh, dan Tuhan tidak! Maka lebih tertekanlah peringatan ini kepada Ulil-Amri, orang-orang yang bertanggung-jawab; jangan sampai misalnya membela kelemahan diri dengan menyebut taqiyah. Kontrol sejati adalah di tangan Tuhan , dan sewaktu-waktu pekerjaan yang curang dan busuk akan berbau juga oleh orang banyak. Disebut dalam ayat ini, bahwa yang diketahui Allah itu bukan saja isi dada manusia yang tersembunyi atau sikap manusia yang nyata. Usahkan itu, sedangkan rahasia semua langit dan bumi lagi diketahuiNya.

Kadang-kadang ditafsirkan dengan nyata di hadapan mata kita. Yaitu pertalian isi dada manusia dengan mulutnya dengan rahasia langit dan bumi. Satu hal pernah kejadian. Yaitu pada suatu hari seorang kepala negara yang sombong berkata sambil mendabik dadanya, bahwa kita manusia ini harus sanggup menundukkan alam. Dua hari saja sesudah dia berpidato sombong akan menundukkan alam itu, terjadilah hujan lebat di kota kediamannya, yaitu hujan lebat yang membawa banjir besar. Dia yang berpidato itu terpaksa dihusung atau ditandu orang ketika akan keluar dari istana, sebab mobil yang akan membawanya tidak dapat berjalan dalam banjir dan mesinnya tidak bisa hidup.

Maka orang yang menyaksikan berkata: "raja kita katanya hendak menundukkan alam. Sekarang dia juga rupanya yang wajib tunduk kepada alam!"

Seorang pemimpin komunis tidak berTuhan pernah berkata dalam satu rapat umum: "Kalau kamu tidak bisa bergerak membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam, lebih baik tukar celanamu dengan sarung (jadi perempuan)." Sehari sesudah dia bercakap berapi-api itu, kaum komunis mengadakan berontak hendak merebut kekuasaan dan membunuh enam orang Jendral.

Rupanya pemberontakan mereka hanya berjalan sehari saja sedang petang harinya sudah dapat digagalkan. Maka Pemimpin Komunis yang sombong itu terpaksa lari meninggalkan kota, benar-benar dengan menukar celana dengan sarung.Itulah sebabnya maka akhir ayat berbunyi:

وَ اللهُ عَلى‏ كُلِّ شَيْ‏ءٍ قَديرٌ

"dan Allah atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa." (ujung ayat 29).

Hanya orang Mu'min yang dapat merasai hal yang seperti ini. Betapa kekuasaan Allah atas isi dada manusia dan betapa kekuasaan Allah atas seluruh langit bumi. Kadang-kadang kita bertemu dengan kemenangan padahal menurut perhitungan kita belum nampak pintunya. Kadang-kadang kita merasa bahwa rencana kita akan berjalan menurut yang kita gariskan. Tiba-tiba datang saja kejadian lain yang tidak pula kita sangka-sangka sehingga rencana Allah jualah yang berjalan. Oleh sebab itu maka baik di waktu senang, sekali-kali janganlah lupa memperhitung kan Maha Kuasanya Allah.

BAB III

KESIMPULAN

A.    Kesimpulan

Keimanan dan ketaqwaan adalah cahaya, cahaya yang hanya terlihat oleh teropong qolbu. Jika hati telah kehilangan cahayanya, maka teropong hati adalah teropong buta, yang tersisa hanyalah gelap gulita. Allah swt benar-benar sangat memperhatikan kondisi cahaya hati para hamba-Nya, karena Allah adalah cahaya di atas cahaya.

Dari dua ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:

1.    Menerima segala sesuatu yang menyebabkan dominasi dan kekuasaan orang-orang kafir terhadap Mukminin, adalah haram hukumnya. Mukminin harus menguatkan posisinya, sehingga tidak tersisa jalan bagi musuh untuk mempengaruhi mereka.

2.    Untuk selamat dari kejahatan orang-orang kafir, menyembunyikan akidah atau berkompromi dengan mereka adalah dibolehkan. Tapi  dengan syarat taqiyyah itu tidak menyebabkan musnahnya dasar atau prinsip agama.

 DAFTAR PUSTAKA

 

No Name. Tth. Ali Imran 28-30. http://kongaji.tripod.com. 08 Oktober 2019. Jam 14:21

 

Azza, Nona. 2008. Pembelajaran Kosa Kata Bahasa Arab. https://nanoazza.wordpress.com. 08 Oktober 2019 Jam 14:33

 

No Name. 2016. Makalah Bahasa Arab Pengertian Mufradat. http://tugasbermanfaat.blogspot.com. 08 Oktober 2019. Jam 14:56

 

Muazzin. 2017. Makalah Qiraat Al-Qur’an. http://makalah2107.blogspot.com. 08 Oktober 2019. Jam 13:12



[1]No Name. 2016. Makalah Bahasa Arab Pengertian Mufradat. Diakses Tanggal 08 Oktober 2019. Diambil Dari URL: http://tugasbermanfaat.blogspot.com.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Nano Azza. 2008. Pembelajaran Kosa Kata Bahasa Arab. Diakses Tanggal08 Oktober 2019. Diambil Dari URL:https://nanoazza.wordpress.com.

[6] Muazzin. 2016. Makalah Qiraat Al-Qur’an. Diakses Tanggal 08 Oktober 2019. Diambil Dari URL:http://makalah2107.blogspot.com. 

[7] Q.S. An-Nisa [4] : 12

[8] QS. Al-Baqarah [2] ayat 222

[9] Ibid.

[10] Q.S Al-Nisa’  (4): 43.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] No Name. Tth. Ali Imran 28-30. Diakses Tanggal 08 Oktober 2019. Diambil Dari URL: http://kongaji.tripod.com.

 

[21] QS. Ali Imran Ayat 28

[22] QS. Ali Imran Ayat 29


Comments